Total Tayangan Halaman

Senin, 20 Juni 2011

Mengenal lebih dalam apa itu Tabuh Rah

PENGERTIAN TABUH RAH.
Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Upacara yang bisa dilaksanakan tabuh rah juga tidak semua upacara. Hanya upacara-upacara pecaruan yang layak dan pantas dibarengi dengan tabuh rah. Upacara yang boleh disertai tabuh rah adalah Caru Panca Kelud, Caru Rsi Gana, Caru Balik Sumpah, Tawur Agung, Tawur Labuh Gentuh, Tawur Panca Wali Krama dan Tawur Eka Dasa Rudra.Mengenai tempat dilakukannya tabuh rah adalah di tempat upacara. Yang melakukannya sang yajamana atau mereka yang menggelar upacara bersangkutan. Pakaian yang melakukan tabuh rah diwajibkan menggunakan pakaian adat. Demikian juga dengan jenis-jenis binatang yang digunakan untuk tabuh rah, yang berarti tabuh rah tidak mesti menggunakan ayam. Jenis-jenis binatang yang dijadikan korban adalah ayam, babi, itik, kerbau, dan lain-lainnya. Tabuh rah tidak bisa diidentikkan dengan adu ayam jago. Pasalnya, pelaksanaan tabuh rah bisa dilakukan dengan penyamblehan atau bisa juga dengan menggelar perang satha. Jadi ketika bicara tabuh rah tidak harus diwujudkan dengan mengadu ayam sampai salah satu mengeluarkan darah atau mati. Parisada menegaskan bahwa jalan penyamblehan bisa dilakukan sebagai bentuk tabuh rah.Penyamblehan adalah cara mengeluarkan darah binatang yang kemudian ditaburkan (tabuh rah) dengan jalan memotong leher binatang itu atau menikamnya dengan keris. Di zaman Majapahit cara ini diistilahkan dengan "Menetak gulu ayam".Kalaupun ada sebuah desa pakraman yang mengharuskan tabuh rah dalam bentuk perang satha yang berarti ada ayam yang harus diadu, Parisada Pusat sebenarnya telah menyarankan diganti dengan penyamblehan. Sekali lagi, tidak harus mengadu ayam jago.Kalaupun memang harus menggelar perang satha, ketentuan sebagai sebuah tabuh rah harus tetap diikuti. Sudah ada uger-uger yang sekaligus menjadikannya mudah dibedakan dengan aktivitas lainnya. Uger-uger tersebut, pertama, jumlah ayam yang diadu tidak boleh lebih dari tiga parahatan (telung saet). Bilangan tiga ini mengandung makna arti magis yakni sebagai lambang dari permulaan tengah dan akhir.

SUMBER PENGGUNAAN TABUH RAH.
Sumber penggunaan tabuh rah terdapat pada Panca Yadnya. 

DASAR- DASAR PENGGUNAAN TABUH RAH.
Dasar- dasar penggunaan tabuh rah tercantum di dalam :
1. Prasasti Bali Kuna (Tambra prasasti).
1. Prasasti Sukawana A l 804 Çaka.
2. Prasasti Batur Abang A 933 Çaka.
3. Prasasti Batuan 944 Çaka.
2. Lontar- lontar antara lain :
1. Siwatattwapurana.
2. Yadnyaprakerti.

FUNGSI TABUH RAH:
Fungsi tabuh rah adalah runtutan/ rangkaian dan upacara/ upakara agama (Yadnya).


WUJUD TABUH RAH:
Tabuh Rah berwujud taburan darah binatang korban.


SARANA :
Jenis- jenis binatang yang dijadikan korban yaitu : ayam, babi, itik, kerbau, dan lain- lainnya.


CARA PENABURAN DARAH
Penaburan darah dilaksanakan dengan menyembelih, "perang satha " (telung perahatan) dilengkapi dengan adu- aduan : kemiri; telur; kelapa; andel- andel; beserta upakaranya 


PELAKSANAAN TABUH RAH: 
1. Diadakan pada tempat dan saat- saat upacara berlangsung oleh sang Yajamana.
2. Pada waktu perang satha disertakan toh dedamping yang maknanya sebagai pernyataan atau perwujudan dari keikhlasan Sang Yajamana beryadnya, dan bukan bermotif judi.
3. Lebih lanjut mengenai pelaksanaan tabuh rah
Aduan ayam yang tidak memenuhi ketentuan- ketentuan tersebut di atas tidaklah perang satha dan bukan pula runtutan upacara Yadnya.


Di dalam prasasti- prasasti disebutkan bahwa pelaksanaan tabuh rah tidak minta ijin kepada yang berwenang.
Penjelasan- penjelasan: di bawah ini:


Penyambleh Adalah penaburan darah binatang korban dengan jalan memotong leher binatang itu atau menikamnya dengan keris. Di zaman Majapahit diistilahkan dengan "Menetak gulu ayam ".


Perang satha Adalah pertarungan ayam yang diadakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Dalam hal ini dipakai adalah ayam sabungan, dilakukan tiga babak. ( telung perahatan) yang mengandung makna arti magis bilangan tiga yakni sebagai lambang dari permulaan tengah dan akhir. Hakekatnya perang adalah sebagai symbol daripada perjuangan (Galungan) antara dharma dengan adharma.


Referensi tabuh-rah Dasar penggunaan tabuh rah adalah prasasti- prasasti Bali Kuna dan lontar- lontar antara lain 


Prasasti Batur Abang A l. tahun 933 Çaka

“............... mwang yan pakaryyakaryya, masanga kunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan, ithaninnya, tan pamwita, tan pawwata ring nayakan saksi.............”

artinya :

“.............. lagi pula bila mengadakan upacara- upacara misalnya tawur Kasanga patutlah mengadakan sabungan ayam tiga sehet (babak) di desanya, tidaklah minta ijin tidaklah membawa (memberitahu.) kepada yang berwenang...........”


Prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Çaka

“.............. kunang yan manawunga ing pangudwan makantang tlung parahatan, tan pamwita ring nayaka saksi mwang sawung tunggur, tan knana minta pamli...............”

Artinya :

“................... adapun bila mengadu ayam di tempat suci dilakukan 3 sehet (babak) tidak meminta ijin kepada yang berwenang, dan juga kepada pengawas sabungan tidak dikenakan cukai :.........”


Lontar Çiwa Tattwa Purana

“ Muah ring tileming Kesanga, hulun magawe yoga, teka wang ing madhyapada magawe tawur kesowangan, den hana pranging satha, wnang nyepi sadina ika labain sang Kala Daça Bhumi, yanora samangkana rug ikang ning madhyapada ”

Artinya :

“ Lagi pula pada tilem Kasanga Aku (Bhatara Çiwa)
mengadakan yoga, berkewajibanlah orang di bumi
ini membuat persembahan masing- masing, lalu
adakan pertarungan ayam, dan Nyepi sehari (ketika) itu beri korban (hidangan) Sang Kala Daça
Bhumi, jika tidak celakalah manusia di bumi ..... “


Lontar Yajna Prakerti

“ ........... rikalaning reya- reya, prang uduwan, masanga kunang wgila yamanawunga makantang tlung parahatan saha upakara dena jangkep...... “

Artinya :

“ ............... pada waktu hari raya, diadakan pertarungan suci misalnya pada bulan Kasanga, patutlah mengadakan pertarungan ayam tiga sehet lengkap dengan upakaranya............... “